BAB I : PENDAHULUAN
PENGERTIAN DEMOKRASI
Kata
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti
pemerintahan atau kekuasaan. Abraham Lincoln mengatakan bahwa
demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Dimana dalam pemerintahan demokrasi, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada
ditangan rakyat. Namun, rakyat akan mewakilkan kepada wakil-wakil rakyat segala
sesuatu mengenai aspirasi, tuntutan, dukungan rakyat terhadap pemerintah,
sehingga dalam praktiknya disebut demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak
langsung.
Setelah
Perang Dunia ke-II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan
negara di dunia. Di antara semakin banyak aliran pemikiran yang menamakan
dirinya sebagai demokrasi, ada dua aliran penting, yaitu demokrasi konstitusional
dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya “demokrasi” namun pada dasarnya menyandarkan dirinya pada
komunisme. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi
berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan
cirinya masih terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Sesuai
dengan pandangan hidup dan dasar negara, pelaksanaan demokrasi di Indonesia
mengacu pada Landasan Idiil yaitu Pancasila dan Landasan Konstitusional yakni
UUD 1945. Namun, dalam upaya mewujudkan negara demokratis Negara Indonesia pun
mengalami pasang surut. Adapun pelaksanaan demokrasi di Indonesia dibagi dalam
(3) masa, yaitu Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Dalam mewujudkan perilaku budaya
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia diharapkan mampu
mendukung proses demokratisasi serta berperilaku yang mencerminkan budaya
demokrasi, seperti sikap terbuka, kritis terhadap informasi yang ada, tidak
mudah terprovokasi, memiliki sikap toleransi yang tinggi dan lainnya.
BAB II :
PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Negara
Indonesia merupakan negara yang masih berusaha membangun dan mengembangkan
demokratisasi sejak meraih kemerdekaan tahun 1945. Namun tentu saja upaya
tersebut membutuhkan perbaikan di berbagai bidang. Oleh karenanya, upaya
demokratisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem pemerintahan atau kenegaraan,
tetapi juga budaya, hukum, serta perangkat lain yang mendukung tumbuhnya
masyarakat madani.
Sejak
awal kemerdekaan negara Indonesia, telah berupaya mengembangkan budaya
demokrasi yang ideal, yakni sistem pemerintahan yang mendahulukan kepentingan
dan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam upaya mewujudkannya negara Indonesia
mengalami pasang surut. Terbukti dengan adanya (3) masa dalam pelaksanaan
demokrasi di Indonesia, yaitu masa orde lama, orde baru dan reformasi.
1) Pelaksanaan Demokrasi
pada Masa Orde Lama
Pada masa ini pelaksanaan demokrasi dibagi menjadi (2) masa
yaitu :
a) Masa
Demokrasi Liberal (1950-1959)
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia
mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut
Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan
oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada
parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota
parlemen. Ciri utama masa Demokrasi
Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah
partai politik yang cukup banyak. Presiden hanya menunjuk seseorang (umumnya
ketua partai) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil
pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden. Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh
kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya.
Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan
mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama
sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet
hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi
Parlementer adalah :
1. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
2. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
4. Kabinet Ali-Wongso ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
5. Kabinet Burhanudin Harahap
6. Kabinet Ali II (24 Maret 1957)
7. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )
Adapun
cara kerja sistem pemerintahan parlementer sebagai berikut.
·
Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR
melalui pemilu multipartai,
·
Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh
kabinet/dewan menteri yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri,
·
Presiden berperan sebagai kepala negara
bukan kepala pemerintahan,
·
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh
badan pengadilan yang bebas,
·
DPR dapat memberikan mosi tidak percaya
pada menteri yang kinerjanya dinilai kurang/tidak baik,
·
Bila kabinet bubar, presiden akan
menunjuk formatur kabinet untuk menyusun kabinet baru,
·
Bila DPR mengajukan mosi tidak percaya
pada kabinet baru, maka DPR akan dibubarkan dan diadakan pemilu.
Namun dalam pelaksanaannya,
kabinet mengalami pasang surut, sehingga terjadilah instabilitas politik yang
mencakup berbagai aspek kehidupan, meliputi politik, ekonomi maupun pertahanan
keamanan. Adapun kegagalan tersebut disebabkan beberapa hal berikut.
·
Dominannya
partai politik,
·
Landasan
sosial ekonomi yang masih rendah,
·
Tidak
mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Maka, dikeluarkanlah dekret
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang isinya yaitu :
Ø
Pembubaran
Konstituante,
Ø
Berlakunya
kembali UUD 1945, dan
Ø
Dibentuk
lembaga MPRS dan DPAS.
b) Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Masa
demokrasi terpimpin mulai diterapkan setelah dekret 5 Juli 1959 yang telah
dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Kegagalan yang terjadi pada masa demokrasi
liberal memunculkan ide demokrasi terpimpin. Pada masa ini, bentuk negara kita
adalah kesatuan, bentuk pemerintahan adalah republik, dan sistem
pemerintahannya adalah demokrasi. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
merupakan demokrasi kekeluargaan tanpa anarkisme, libralisme, otokrasi, dan
diktator serta berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong antara
semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner berporoskan nasakom.
Adapun
ciri-ciri demokrasi terpimpin yaitu :
·
Dominasi
Presiden, dimana Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan
pemerintahan,
·
Terbatasnya
peran partai politik,
·
Berkembangnya
pengaruh PKI,
·
Meluasnya
peran militer sebagai unsur sosial politik.
Namun, dalam pelaksanaannya ternyata demokrasi
terpimpin pun banyak mengalami penyimpangan, antara lain :
·
Pelanggaran
prinsip “kebebasan kekuasaan kehakiman” hal ini terbukti dengan adanya UU No.
19 Tahun 1964 yang menentukan bahwa “ demi kepentingan revolusi, Presiden
berhak untuk mencampuri proses peradilan” yang bertentangan dengan UUD 1945,
·
Terjadinya
pengekangan Hak Asasi warga negara di bidang politik, seperti berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,
·
Presiden
banyak membuat penetapan yang melampaui batas kewenangannya, seperti dalam
pembentukan UU harus disetujui dahulu oleh DPR, ternyata hanya diatur oleh Presiden
sendiri dalam bentuk penetapan Presiden,
·
Pembentukan
lembaga negara ekstrakonstitusional, dimana Presiden membentuk lembaga diluar
aturan UUD 1945, seperti front nasional yang dimanfaatkan oleh pihak komunis
sebagai ajang persiapan pembentukan negara komunis Indonesia.
Akhirnya
terjadilah peristiwa G 30 S pada tahun 1965 oleh PKI yang bertujuan untuk
mengambil alih kekuasaan. Pemberontakan ini tentu mengacaukan stabilitas
politik, sehingga banyak bermunculan tuntutan untuk membubarkan PKI khususnya
dari pihak mahasiswa. Tuntutan itu dikenal dengan sebutan Tritura (tiga
tuntutan rakyat) yang meliputi :
1.
pembubaran PKI,
2.
pembubaran kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI, dan
3.
penurunan harga.
Untuk menstabilkan situasi politik pada
waktu itu, maka Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Jendral Soeharto,
tepatnya tanggal 11 Maret 1966, sehingga dikenal dengan sebutan Supersemar.
Kemudian kekuasaan politik dipegang oleh Jendral Soeharto sampai Beliau dianggat
sebagai Presiden.
2)
Pelaksanaan Demokrasi
Pada Masa Orde Baru
Dengan
dilantiknya Jenderal Soeharto sebagai Presiden yang kedua (1967-1998),
Indonesia memasuki masa Orde Baru. Selama pemerintahan Orde Baru, stabilitas
politik nasional dapat terjaga. Lamanya pemerintahan Presiden Soeharto
disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
·
Presiden Soeharto mampu menjalin kerja sama dengan golongan
militer dan cendekiawan.
·
Adanya kebijaksanaan
pemerintah untuk memenangkan Golongan Karya (Golkar) dalam setiap pemilu.
·
Adanya penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
sebagai gerakan budaya yang ditujukan untuk membentuk manusia Pancasila, yang
kemudian dikuatkan dengan ketetapan MPR No II/MPR/1978.
Untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang demokratis, maka
diselenggarakan pemilihan umum. Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru
dilaksanakan tahun 1971, dan diikuti oleh sembilan partai politik dan satu
Golongan karya. Sembilan partai peserta pemilu tahun 1971 tersebut adalah
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Nahdlatul Ulama (NU),
Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), Partai Katolik, Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai
Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilu adalah Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sejak pemilu tahun 1971 sampai tahun
1997, kemenangan dalam pemilu selalu diraih oleh Golkar. Hal ini disebabkan
Golongan Karya mendapat dukungan dari kaum cendekiawan dan ABRI. Untuk
memperkuat kedudukan Golkar sebagai motor penggerak Orde Baru dan untuk
melanggengkan kekuasaan maka pada tahun 1973 diadakan fusi partai-partai
politik. Fusi partai dilaksanakan dalam dua tahap berikut.
Ø
Tanggal 5 Januari 1963 kelompok NU, Parmusi, PSII, dan Perti
menggabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Ø Tanggal 10 Januari 1963, kelompok
Partai Katolik, Perkindo, PNI, dan IPKI menggabungkan diri menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Di samping membina stabilitas
politik dalam negeri, pemerintah Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan
dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya-upaya pembaharuan dalam politik
luar negeri.
a.
Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB,
b. Membekukan hubungan diplomatik
dengan Republik Rakyat Cina (RRC),
c.
Normalisasi hubungan dengan Malaysia, dan
d. Berperan dalam Pembentukan ASEAN.
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde
Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi
Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia.
Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus
meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan
munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa.
Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada
saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa
Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa
tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin
Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai
“Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto
berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain
itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu,
UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU
Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk
karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya
penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya
pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J.
Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya
Orde Reformasi.
3) Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde
Reformasi
Ketika
Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu
terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a)
Masa
depan reformasi,
b)
Masa
depan ABRI,
c)
Masa
depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia,
d)
Masa
depan soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya,
e)
Masa
depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil
dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari
masyarakat.
·
Kebijakan
dalam bidang politik.
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima
paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih
demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
ü UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
ü UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
ü UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
DPR/MPR.
·
Kebijakan
dalam bidang ekonomi.
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama
dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
·
Kebebasan
menyampaikan pendapat dan pers.
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai
terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari
berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara
terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat,
kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan
cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
·
Pelaksanaan
Pemilu.
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil
diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang
demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain
masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha
Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah
Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah
pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari
Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh
dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama
Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Perkembangan demokrasi mulai terlihat
ketika diselenggarakan pemilu yang dilaksanakan secara langsung yang memilih
Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Perubahan yang bisa dilihat pada
masa pemerintahan ini adalah kebebasan media pers. Pers yang dulu dibatasi
untuk meliput dan penyampaian info kepada masyarakat, kini diberi keleluasaan
lebih bahkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan politik.
Selain itu, juga digalakkan program-program yang bertujuan mewujudkan
ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, seperti razia narkoba, minuman keras
dan tempat-tempat hiburan. Bahkan tidak segan-segan dilakukan pengusutan secara
tuntas terhadap pelaku KKN yang banyak dilakukan oleh pejabat. Dan yang sangat
membanggakan adalah tanggal 14 Agustus Tahun 2005 telah tercapai rekonsiliasi
antara RI dan GAM.
BAB III :
PERILAKU BUDAYA DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Rumusan sila ke-4 Pancasila
sebagai dasar filsafat Negara dan dasar politik Negara yang di dalamnya
terkandung unsur kerakyatan, permusyawaratan, dan kedaulatan rakayat merupakan
cita-cita kefilsafatan dari Demokrasi Pancasila. Oleh sebab itu, perilaku
budaya demokrasi yang perlu di kembangkan dalam kehidupan sehari-hari adalah
hal-hal berikut :
a)
Menjunjung
tinggi persamaan, Budaya demokrasi mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki
persamaan harkat dan derajat dari sumber yang sama sebagai makhluk ciptaan yangTuhan
YME. Oleh sebab itu, dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita mampu membuat
dan bertindak untuk menghargai orang lain sebagai wujud kesadaran diri untuk
menerima keberagaman dalam masyarakat. Menjunjung tinggi persamaan mengandung
makna bahwa kita mau berbagi dan terbuka menerima perbadaan pendapat, kritik
dan saran dari orang lain.
b)
Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban, Setiap manusia menerima fitrah hak asasi
dari Tuhan Yang Maha Esa berupa hak hidup, hak kebebasan, dan hak memiliki
sesuatu. Penerapan hak-hak tersebut bukanlah sesuatu yang mutlak tanpa batas.
Dalam kehidupan bermasyarakat, ada batas-batas yang harus di hormati bersama
berupa hak-hak yang dimiliki orang lain sehingga batasan norma yang berlaku dan
di patuhi. Untuk itu, dalam upaya mewujudkan tatanan kehidupan sehari-hari yang
bertanggungjawab terhadap Tuhan, diri sendiri, dan orang lain perlu dengan
sebaik-baiknya.
c)
Membudayakan
sikap yang adil, Salah satu perbuatan mulia yang dapat di wujudkan dalam kehidupan
sehari-hari baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain adalah mampu
bersikap bijak dan adil. Bijak dan adil dalam makna yang sederhana adalah
perbutan yang benar-benar dilakukan dengan perhitungan, mawas diri, mau
memahami yang dilakukan orang lain dan proporsional. Masyarakat kita perlu
mengembangkan budaya bijak dan adil dalam rangka mewujudkan kehidupan yang
saling menghormati harkat dan martabat orang lain, tidak diskriminatif,
terbuka, dan menjaga persatuan dan kesatuan lingkungan masyarakat sekitar.
d)
membijaksanakan
musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan, mengambil keputusan melalui
musyawarah mufakat merupakan salah satu nilai dasar budaya bangsa Indonesia
yang sejak lama telah dipraktikkan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam musyawarah mufakat terkandung makna bahwa pada setiap
kesempatan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan diperlukan kesadaran
dan kearifan untuk memutuskan. Untuk itu, sebelum suatu keputusan di terapkan
selalu di dahului dengan dialog dan mau mendengar dari berbagai pihak, juga
selalu di upayakan untuk memahami terlebih dahulu persoalan-persoalan yang ada.
Keputusan dengan musyawarah mufakat akan menghasilkan keputusan yang mampu
memuaskan banyak pihak sehingga dapat terhindar dari konflik-konflik vertical
maupun horizontal.
e) Mengutamakan persatuan dan kesatuan nasional, Dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sikap untuk lebih
mengutamakan kepentingan orang lain/umum dari kepentingan peribadi yang sangat
penting untuk di tumbuhkan. Kesadaran setiap warga Negara untuk mengutamakan
persatuan dan kesatuan merupakan wujud cinta terhadap bangsa dan Negara. Kita
harus mampu berpikir cerdas dan bekerja keras untuk kepentingan dan kemajuan
bangsa dan Negara melalui berbagai bidang kehidupan yang dapat kita lakukan.
Makna penting dalam memahami sikap mengutamakan persatuan dan kesatuan adalah
bagaimana kita mampu berbuat tanpa pamrih untuk kepentingan bangsa dan Negara,
betapa pun yang kita lakukan adalah hal-hal kecil dalam status dan propesi yang
kita miiliki.
Adapun beberapa hal yang
mencerminkan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari yaitu :
1. Menghargai pendapat/saran orang lain,
2.
Bersedia/berbesar
hati menerima perbedaan,
3.
Mengembangkan
sikap saling percaya dan jujur,
4.
Menghindari
sikap provokasi antarindividu/kelompok masyarakat,
5.
Ikut
mendukung ketertiban umum,
6.
Menggunakan
hak pilih sesuai hati nurani tanpa paksaan,
7.
Mentaati
tata tertib dan peraturan per-UU yang berlaku
8.
Mengutamakan
musyawarah dalam pengambilan keputusan,
9.
Menyalurkan
aspirasi melalui jalur yang benar,
10. Merealisasikan asas-asas pemilu yaitu langsung,
bebas, umum, rahasia, jujur dan adil.